Melihat senyum seorang
Bapak diatas, yang mungkin merupakan senyum yang menunjukkan bahwa dirinya sudah merasa bahagia ketika kebutuhan pribadi dan kebutuhan keluarganya sudah
tercukupi..
Istrinya minta ini, ia
sanggup. Anaknya minta itu, ia turuti. Merasa menjadi laki-laki yang seutuhnya.
Punya gelar, kehormatan, jabatan, harta, dan keluarga, hidup yang sangat diidam-idamkan
oleh kebanyakan orang, bukan?
Tapi amatilah senyum
Bapak di bawah ini.
Apakah senyum itu
menunjukkan rasa puas? Apakah senyum itu menunjukkan rasa bahagia? Apakah
senyum itu menunjukkan bahwa beliau merasa menjadi laki-laki seutuhnya?
Ada makna tersirat di
balik senyum itu. Gambar itu diambil saat beliau sedang berbagi sedikit tentang
kisah hidupnya.
Namanya Bapak Dodo, Tri
Widodo lebih lengkapnya. Seorang korban PHK massal yang terjadi pada tahun 1998
silam, semenjak itu beliau menjadi penjual karak sampai sekarang.
Menerjang panasnya terik
matahari setiap harinya, keliling kesana kemari dengan sepeda motor kesayangannya,yang
terdapat keranjang di sisi kanan dan kirinya, tentu untuk membawa karak jualannya,
demi mendapatkan pundi-pundi rupiah supaya setidaknya anak dan istrinya bisa
makan..
Bagaimana dengan gelar,
jabatan, ataupun kehormatan bagi Bapak Dodo?
Jelas beliau sudah tidak
memperdulikannya.
Sungguh berbeda bukan
dengan kisah Bapak yang sebelumnya.
Inilah ketimpangan yang
terjadi secara nyata di negeri kita tercinta ini. INDONESIA.
Yang katanya negara yang
berlandaskan pada pancasila.
Dimana jelas-jelas
disebutkan dalam sila ke-5 “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”
Lantas, dimana rasa adil
bagi Bapak Dodo? Bukankah beliau juga warga negara Indonesia?
Pejabat di negeri ini?
Banyak. Sarjana di negeri ini? Banyak. Profesor di negeri ini? Apalagi, sangat
banyak. Bagaimana dengan Insinyur? Jangan ditanya berapa jumlahnya, pasti
banyak. Dokter? Sudah tidak terhitung. Lalu kalau pilot? Ya anda tahu sendiri
jawabannya.
Lalu kemana mereka semua?
Seakan mereka sibuk untuk meninggikan jabatan, karir, dan kekuasaannya.
Jangankan membantu, mungkin melihat rakyat kecil pun tidak. Atau bahkan mereka tidak
ingat bahwa masih banyak manusia yang tidak seberuntung mereka. Atau bahkan ada
yang lupa, bahwa dulunya mereka pun bukan siapa-siapa?
Membuat saya benar-benar
tersenyum akan hal itu. Tersenyum sadar bahwa saya sekarang menyandang predikat
“mahasiswa”.
Bukan predikat
sembarangan yang semua orang bisa mendapatkannya.
Berdasarkan Tri Dharma
Perguruan tinggi,
Seorang mahasiswa
harusnya mampu memahami tugasnya, tidak hanya di lingkup akademik saja. Tapi
mereka juga bertanggung jawab untuk mengabdi
pada masyarakat.
Bantuan tidak hanya berupa
materi ataupun uang.
Pupuklah mereka para
rakyat kecil dengan ilmu-ilmu yang pernah kalian dapatkan. Agar kelak mereka
bisa tumbuh subur dan menjadi manusia yang seutuhnya.
Teruntuk kalian para
manusia yang disebut “mahasiswa”
Apa yang sudah kalian
berikan semenjak kalian memasuki gerbang perkuliahan?
Apa kalian hanya
mengincar IP tinggi tanpa memperhatikan lingkungan sekitar?
Apa kalian merasa bahwa
kalian kuliah ya hanya untuk mendapat gelar lalu kerja?
Jelas bukan hanya itu,
ada peran penting yang seharusnya bisa kalian serapi, dan bahkan bisa kalian
lakukan. Yaitu pengabdian terhadap masyarakat.
Bagi para calon sarjana
pertanian, sosialisasikanlah kepada para petani ilmu yang kalian dapatkan. Ciptakanlah
inovasi baru agar para petani dapat mempermudah pekerjaannya. Dan munculkanlah
semangat mereka agar mereka bersemangat untuk bersaing dengan produk luar, yang
pada akhirnya mereka mampu membuat pemerintah tidak mengimpor produk luar lagi,
dan semua rakyat Indonesia menggunakan produk lokal khas dari para petani
Indonesia.
Bagi para calon
guru/civitas akademik, ajarilah para anak-anak terutama yang tidak terdaftar
namanya dalam bangku sekolah dengan keikhlasanmu ya walaupun bayarannya hanya
senyum mereka dan rasa bangga atas keberhasilan mereka kelak. Didiklah mereka
sehingga mereka mampu menyamai pendidikan anak umur sebaya nya. Sehingga mereka
mempunyai semangat yang tinggi untuk meraih cita-citanya. Bukan hanya pasrah
dengan keadaan dan menyamai nasib orang tuanya.
Bagi para calon Dokter,
berikanlah pengobatan gratis kepada warga-warga di pelosok negeri. Mereka yang
rumahnya bahkan harus menempuh waktu berjam-jam untuk ke puskesmas/rumah sakit.
Mengabdilah kamu di sana. Maka kamu akan menemukan arti lebih luas dari kata
dokter sesungguhnya, yang tidak hanya kerja di rumah sakit, namun di setiap
penjuru negeri.
Dan masih banyak lagi
para calon sarjana dari berbagai fakultas untuk mengulurkan tangannya dan
mengabdi pada masyarakat demi mengurangi rasa ketidak adilan terhadap rakyat
kecil.
Jika boleh, aku ingin
bermimpi.
Bermimpi untuk membangun
suatu rumah. Rumah pengabdian. Rumah untuk para mahasiswa yang sadar akan
tanggung jawabnya diluar tanggung jawab pendidikan dan penelitian. Rumah yang
akan mengurangi ketimpangan di negeri ini. Rumah yang akan mencetak
generasi-generasi unggul dari para rakyat kecil. Rumah yang menjadi wadah saling mengulurkan tangan bagi setiap anggotanya
maupun para rakyat kecil. Rumah yang tidak mengharapkan imbalan apapun. Rumah yang
ingin ku bikin suatu saat nanti bukan ajang ku untuk mencari keuntungan dan aku
tidak akan menggunakannya sebagai sarana bisnisku, tapi rumah yang akan ku
wujudkan suatu saat nanti merupakan wujud konkritku sebagai pengabdian terhadap
bangsa, membantu mengurasi rasa ketidak adilan bagi rakyat kecil dan perwujudan
dalam penerapan pancasila, terutama sila yang kelima yaitu “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” serta
sebagai bentuk tanggung jawab mahasiswa kepada Tri Dharma Perguruan
Tinggi.
Melalui rumah itu, akan dikumpulkan para mahasiswa yang sukarela menjadi volunteer, dan akan menjadi wadah bagi para donatur yang ingin menyisihkan uangnya untuk program membantu rakyat kecil ini. Lalu akan disusun rangkaian kegiatan sosial berupa sosialisasi beik dalam hal pendidikan maupun kewirausahaan ataupun sosialisasi mengenai keterampilan yang bisa mereka jadikan bekal.
Tentu untuk mewujudkan
mimpiku ini sangat sangat tidak mudah. Tugas utamaku adalah aku harus bisa
merangkul para mahasiswa agar mereka mau untuk berkontribusi dalam misi
mengurangi rasa ketidak adilan terhadap rakyat kecil dan misi mewujudkan aksi
nyata terhadap salah satu aspek dari Tri Dharma Perguruan Tinggi ini yaitu
pengabdian ke masyarakat.
Berniatlah, berusahalah, berdo'alah, lalu lakukan..